Sumber: Kompas
Dilihat dari fungsi keluarga, seharusnya pencari nafkah dalam keluarga hanya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengayomi dan mencukupi kebutuhan keluarga intinya. Sayang, hubungan antarkeluarga besar juga melibatkan dukungan finansial.
Tak bisa dimungkiri kalau dalam kultur Timur, seperti Indonesia yang masih menjunjung tinggi kekerabatan dan relasi sosial, banyak keluarga inti yang tetap membantu keluarga besarnya secara finansial. Entah ikut membiayai rumah tangga mertua atau menopang keuangan ipar-ipar yang juga sama-sama sudah berkeluarga!
"Kondisi ini umumnya ditumpukan pada anak lelaki. Maklum saja, di samping sistem kemasyarakatan yang masih mengagungkan anak lelaki, umumnya bila dirunut ke belakang anak lelaki memang diunggulkan orangtua. Dalam arti, meski kondisi ekonomi pas-pasan, biasanya anak lelaki tetap didorong untuk terus sekolah setinggi-tingginya. Dengan harapan, ketika si anak lelaki sudah lulus dan bekerja, gantian dia yang menyekolahkan adik-adiknya," papar psikolog Arie Radyawati, Psi.
Intinya, menjadi tulang punggung keluarga inti sekaligus keluarga besar bukanlah hal yang aneh dalam sistem kekerabatan masyarakat Timur. Tidak membantu sama sekali juga tidak mungkin karena relasi-relasi sosial orang Timur mencerminkan gotong royong. Mereka yang tidak mau terlibat atau membantu bisa-bisa "dikucilkan" secara sosial karena dianggap pelit atau tidak punya perasaan.
Jalan tengah yang diambil adalah membantu keluarga besar, tapi tentu saja sebatas kemampuan. Jangan sampai bantuan itu malah mengganggu ekonomi keluarga inti. Kepentingan keluarga inti terpaksa dikorbankan dengan dalih membantu keluarga besar.
Karena jalan keluar yang terbaik adalah kompromi, maka dibutuhkan juga keikhlasan dari pihak yang dibantu untuk sama-sama peduli dengan persoalan bantu-membantu ini. Pihak yang dibantu juga dilibatkan, misalnya buka-bukaan soal alokasi dana. Contohnya, dulu sewaktu masih lajang mungkin suami masih bisa membantu seluruh keperluan orangtuanya. Tapi setelah menikah, apalagi setelah kelahiran anak, bantuan ini sekarang bentuknya hanya berupa uang belanja atau uang untuk membayar listrik.
Orangtua dan para ipar hendaknya juga harus bisa menempatkan diri dengan status baru si pemasok bantuan yang kini sudah menikah. Pahami bahwa ia harus membatasi diri dan menetapkan mana yang perlu dibantu. Hargailah bahwa ia sudah menikah dan membentuk keluarga inti. Mungkin ada aturan main baru karena tidak bisa lagi menuntut sepenuhnya dari anak.

Tak bisa dimungkiri kalau dalam kultur Timur, seperti Indonesia yang masih menjunjung tinggi kekerabatan dan relasi sosial, banyak keluarga inti yang tetap membantu keluarga besarnya secara finansial. Entah ikut membiayai rumah tangga mertua atau menopang keuangan ipar-ipar yang juga sama-sama sudah berkeluarga!
"Kondisi ini umumnya ditumpukan pada anak lelaki. Maklum saja, di samping sistem kemasyarakatan yang masih mengagungkan anak lelaki, umumnya bila dirunut ke belakang anak lelaki memang diunggulkan orangtua. Dalam arti, meski kondisi ekonomi pas-pasan, biasanya anak lelaki tetap didorong untuk terus sekolah setinggi-tingginya. Dengan harapan, ketika si anak lelaki sudah lulus dan bekerja, gantian dia yang menyekolahkan adik-adiknya," papar psikolog Arie Radyawati, Psi.
Intinya, menjadi tulang punggung keluarga inti sekaligus keluarga besar bukanlah hal yang aneh dalam sistem kekerabatan masyarakat Timur. Tidak membantu sama sekali juga tidak mungkin karena relasi-relasi sosial orang Timur mencerminkan gotong royong. Mereka yang tidak mau terlibat atau membantu bisa-bisa "dikucilkan" secara sosial karena dianggap pelit atau tidak punya perasaan.
Jalan tengah yang diambil adalah membantu keluarga besar, tapi tentu saja sebatas kemampuan. Jangan sampai bantuan itu malah mengganggu ekonomi keluarga inti. Kepentingan keluarga inti terpaksa dikorbankan dengan dalih membantu keluarga besar.
Karena jalan keluar yang terbaik adalah kompromi, maka dibutuhkan juga keikhlasan dari pihak yang dibantu untuk sama-sama peduli dengan persoalan bantu-membantu ini. Pihak yang dibantu juga dilibatkan, misalnya buka-bukaan soal alokasi dana. Contohnya, dulu sewaktu masih lajang mungkin suami masih bisa membantu seluruh keperluan orangtuanya. Tapi setelah menikah, apalagi setelah kelahiran anak, bantuan ini sekarang bentuknya hanya berupa uang belanja atau uang untuk membayar listrik.
Orangtua dan para ipar hendaknya juga harus bisa menempatkan diri dengan status baru si pemasok bantuan yang kini sudah menikah. Pahami bahwa ia harus membatasi diri dan menetapkan mana yang perlu dibantu. Hargailah bahwa ia sudah menikah dan membentuk keluarga inti. Mungkin ada aturan main baru karena tidak bisa lagi menuntut sepenuhnya dari anak.
Comments
Post a Comment