Wah, Usahamu Hebat, Nak!

Sumber: gaya
Jenn Berman, Ph.D, terapis keluarga dan juga penulis buku The A to Z Guide to Raising Happy and Confident Kids, menyatakan, “Sebagai orangtua, kita menjadi pecandu pujian.” Segala hal yang dilakukan anak, seperti memenangi pertandingan sepakbola atau membuat istana pasir di pantai akan membuahkan pujian dari orangtua.

Orangtua zaman sekarang, tambah Berman, sangat bertolak belakang dengan orangtua beberapa dekade lalu. Orangtua zaman dulu lebih ketat dan tegas. “Sekarang kita menjadi terlalu memuji anak-anak,” ujarnya.

Dengan memberi porsi pujian yang berlebihan, orangtua berpikir telah membangun kepercayaan diri anak. Orangtua percaya bahwa dengan memuji anak, berarti memperbaiki harga diri mereka. Padahal justru itu bisa bersifat sebaliknya.

Terlalu banyak memuji bisa berbahaya. Terutama jika diberikan dengan cara yang tidak tulus, membuat anak takut mencoba hal-hal baru atau mengambil risiko, bahkan khawatir kalau ia tidak menjadi yang terbaik.
Dikatakan Berman, “Memuji anak secara terus-menerus justru bisa menjadi meremehkan.” Patut digarisbawahi, kebiasaan itu membuat anak perlu mendapat persetujuan orangtua setiap saat dan terus-menerus mencari persetujuan orangtuanya.

Namun, tidak memberikan pujian yang cukup juga bisa sama merusaknya dengan memberikan pujian yang berlebihan. Anak bisa merasa dirinya tak cukup baik atau orangtua tidak memberi perhatian pada mereka, sehingga anak melihat bahwa orangtua tidak merasakan prestasi yang diraihnya.

Kalau begitu, berapa “jumlah” yang tepat untuk memuji anak? Para ahli berpendapat, kualitas pujian lebih penting daripada kuantitasnya. Bila pujian diberikan dengan tulus dan sungguh-sungguh, fokus pada usaha dan bukan pada hasil, Anda bisa memberikan sesering mungkin imbalan dengan kata-kata.

Comments

  1. Pujian memang bisa melenakan dan membosankan, terutama jika diungkapkan dengan tidak serius dan mengandung maksud tersembunyi

    ReplyDelete

Post a Comment